Minggu, 27 Desember 2009


IKLAS DALM BERIBADAH



حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي

مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Artinya :
Dari Umar bin Khatab RA berkata : aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya amalan itu hanyalah tergantung niatnya dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya, barang siapa yang (berniat) hijrah kepada Allah dan Rasulnya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya, barang siapa (berniat) hijrah karena dunia yang bakal diraihnya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang diniatkannya itu " (HR. al-Bukhari dan Muslim)

B. Sabubul Wurud
Imam at-Tabrani meriwayatkan dalam al mu'jam al-Kabir dengan sanad yang bisa dipercaya bahwa ibnu mas'ud berkata : di antara kami ada seorang laki-laki yang melamar seorang wanita, bernama Ummu Qais, namun wanita itu menolak sehingga ia berhijrah ke Madinah. Maka laki-laki itu ikut hijrah dan menikahinya . karena itu kami menjuluki Muhajir Ummu Qais.
Ibnu Mas'ud berkata siapa yang hijrah untuk mendapatkan kepentingan duniawi saja,maka pahala yang didapat sebagaimana yang didapat seorang laki-laki yang hijrah untuk menikah waniata yang bernama Ummu Qais, hingga ia dijuluki Muhajir Ummu Qais"
C. Uraian.
Hadits ini adalah hadits Sahih yang disepakati kesahihannya. Dan sangat besar kedudukannya dan banyak faedahnya.
Banyak para ulama menganjurkan agar karangan-karangan dimulai dengan hadits ini. Abdurrahman al-Mahdi mengatakan " Seyogianya bagi setiap orang yang menyusun suatu kitab supaya mengawalinya dengan hadits ini untuk mengingatkan penuntut ilmu agar membetulkan niatnya.
Hadits ini menunjukan bahwa niat itu sebagai barometer untuk menilai sahnya amalan. Bila niatnya baik, maka amalannyapun akan baik dan bila amalannya rusak maka rusak pula amalannya.
Apabila kita menjumpai suatu amal dan dibarengi oleh niat maka di mempunyai tiga keadaan :
1. Ia melakukan hal itu karena takut kepada Allah dan ini adalah ibadahnya Hamba
2. Ia melakukan hal itu karena mencari Surga dan pahalanya. ini ibadahnya pedagang
3. Ia melakukan ha itu karena malu kepada Allah Swt. Menunaikan hak ubudiyyah dan menunaikan rasa syukur walaupun demikian ia merasa dirinya lalai dan hatinya merasa takut karena ia tidak tahu apakah amalnya diterima atau tidak ? itulah yang yang diisaratkan Rasululllha ketika Aisyah mengatakan kepada beliau pada saat beliau melakukan qiyamul lail. Sampai kedua telapak kaki beliau bengkak. " wahai Rasulullah mengapa engkau melakukan hal itu dengan susah payah padahal Allah SWT telah mengampuni dosamu yang telah lalu maupun yang akan datang ? maka beliau menjawab apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang banyak bersyukur.
Ketiga macam ini termasuk katagori orang-orang yang ikhlas tapi kita harus waspada karena keikhlasan itu adakalanya terjangkit berbagai penyakit yang akhirnya membuat amalan amalan kita menjadi tertolak, seperti :
a. Ujub (bangga Diri), barang siapa yang merasa kagum dengan amalnya maka amalnya tersebut batal
b. Sombong, orang yang beramal dan dia merasa sombong dengan amalnya tersebut maka batallah amalnya.
c. Melakukan suatu amalan untuk mencari dunia dan akhirat sekaligus. Sebagaian ulama berpendapat bahwa amalnya tertolak berdasarkan sabda Rasulullah SAW dalam Hadits Qudsi :
يقول الله تعالي : انا اغني الشركاء عن الشرك فمن غمل غملا اشرك فيه غيري فانا بريء منه
"Allah Swt berfirman: Aku adalah dzat yang paling tak membutuhkan persekutuan barang siapa yang melakukan suatu amalan di mana ia mempersekutukan sesuatu (bersamaku) maka aku berlepas dri darinya "

Pendapat ini yang diikuti al-Harits al-Muhasibi dalam kitab ar-Ri'ayah Beliau menyatakan "Ikhlas ialah kamu menginginkan-Nya dengan menaati-Nya dan tidak menginginkan selainnya.
d. Riya. Riya itu ada dua macam :
Pertama , ia menaati Allah karena riya kepada Manusia.
Kedua. Ia menginginkan manusia dan Rabb manusia . keduanya membatalkan amalan sebagaimana dalam firman Allah Swt :

" yang Maha Kuasa yan memiliki segala keagungan Maha suci Allah dari apa yan mereka persekutukan " (al-Hasyr : 23)

Sebagaimana Allah Swt menolak isteri, anak dan sekutu, Allah juga menolak amalan yang disekutukan dengan selain-Nya. Contohnya, siapa yang shalat dzuhur dan berniat menunaikan apa yang difardukan Allah Swt. Tetapi ia memanjangkan rukun-rukun dan memanjangkan bacaanya serta memperbagus shalatnya karena manusia maka tidak diterima karena meniatkannya untuk manusia.
Sebagaimana riya itu terdapat dalam amalan riya juga terdapat dalam meninggalkan amal artinya siapa yang berniat beribadah tapi meninggalkannya karena khawatir dilihat manusia maka ia telah berbuat riya. Karena ia meninggalkan amalan karena manusia.
g. Tasmi atau Sum'ah. Adalah mempopulerkan amalan yaitu ia beramal dalam sepi kemudian menceritakannya pada orang lain tentang apa yang telah dikerjakannya dengan tujuan ingin diketahui oleh orang lain. Tetapi menurut para Ulama jika ada seorang alim yang diteladani dan ia menyebutkan amalan-amalan dengan tujuan untuk memberi semngat kepada orang lain yang mendengarnya supaya mengamalkannya, maka itu tidak apa-apa.
Sabda Nabi Saw : " sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya" Yang dimaksudkan dengan sabda nabi Saw tersebut adalah amalan-amalan ketaatan bukan amalan-amalan mubah. Dengan kata lain yang dimaksud dengan amala di sini ialah amalan syariah, artinya amal tidak dinilai dengan tanpa niat seperti wudhu, shalat, zakat,shaum, haji, dan semua peribadahan.
Al-Harits al Muhasibi mengatakan, ikhlas tidak masuk dalam perkara mubah. Seperti : kita tidur siang bukan untuk suatu tujuan tetapi hanya sekedar tidur saja adapun jika tidur siangnya untuk suatu tujuan misalnya : supaya malamnya bisa bangun lebih awal untyuk qiyamullail, maka itu dianjurkan demikian juga tidak ada keikhlasan dalam suatu yang diharamkan atau yang dimakruhkan seperti orang yang melihat sesuatu yang dilarang untuk dilihatnya dengan dalih bertafakur terhadap ciptaan Allah Swt.
Sabda Rasullah : "sesungguhnya niat itu " mengandung kemungkinan makna, sesungguhnya sahnya amal, diterimanya amal, betulnya amal, atau sempurnanya amal, keabsahan amalan tidak sebatas pada niat yang benar. Tetapi pahalanya tergantung pada taqarub. Misalnya seseorang memeberi makan binatang peliharaanya, jia ia memberinya makan dengan niat untuk mentaati perintah Allah maka ia diberi pahala dan jika ia memberinya makan dengan niat untuk memeilhara harta saja maka tidak berpahala.
Niat menurut bahasa ialah al-Qasd (tujuan) sedangkan niat menurut syariat ialah meniatkan sesuatu diiringi dengan perbuatan. jika ia berniat dan tidak segera mengerjakan maka ini disebut tekad. Niat disyariatkan untuk dua hal :
Pertama, untuk membedakan kebiasaan dari peribadatan. Contoh duduk di Masjid. Adakalanya ia bermaksud untuk istirahat menurut kebiasaan dan adakalanya untuk niat I'tikaf. Yang membedakan antara ibadah dan kebiasaan adalah niat.
Kedua, untuk membedakan tingkatan ibadah yang satu dari yang lainnya, contoh orang yang shalat empat rakaat adakalanya meniatkannya untuk shalat dzuhur dan adakalanya meniatkannya untuk shalat sunat dan yamg membedakannya adalah niatnya. Dan termasuk didalam niat ialah niat amal dan niat tujuan amal adapun niat amal tidak boleh dimutlakan tapi harus ditentukan misalnya kita mau melaksanakan shalat fardhu. Maka kita harus menentukan apakah shalat yang yang akan kita laksanakan itu shalat dzuhur, ashar atau mahgrib.sedangkan niat tujuan amal perbuatan yaitu ikhlas karena Allah dalam segala yang dikerjakan dan ditinggalkan oleh seorang hamba serta dalam segala apa yang dikatakan dan dilakukannya Allah Swt berfirman :



Ingatlah, Hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.

Jadi sudah menjadi kewajiban kita sebagai hamba berniat dalam segala urusannya, yaitu meniatkan karena Allah, taqarrub kepada-Nya mencari pahalanya, dan takut terhadap siksaannya.kemudian ucapan Rasulullah Saw " dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya. Ini sebagai dalil bahwa tidak boleh mewakilkan dalam hal peribadatan dan tidak boleh mewakilkan niat.
Jadi perbuatan itu tergantung niat hamba, baik atau buruk sempurna atau tidak sempurna. Barang siapa yang berniat melakukan kebijakan dan meniatkannya untuk berbagai tujuan mulia, yaitu perkara yang mendekatkan kepada Allah, maka ia mendapat pahala dan balasan yang sempurna. Barang siapa yang tidak sempurna niat dan tujuannya maka berkurang pula pahalanya. Sebaliknya barang siapa yang niatnya diarahkan kepada selain tujuan ini maka dia tidak akan mendapatkan pahala dan dia hanya mendapatkan apa yang diniatkannya berupa tujuan-tujuan murahan.
Sabda Nabi Saw; Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya yakni ia mendapatkan apa yang dia niatkannya dan mendapatkan pahala dari Allah Swt. Kalimat ini berisi keikhlasan kepada dzat yang disembah dan mengikuti Rasul, yang keduanya adalah syarat bagi setiap ucapan dan perbuatan zhahir dan batin. Barang siapa yang mengikhlaskannya amalanya karena Allah dan mengikuti Rasulullah. Maka inilah orang yang amalanya diterima. Barang siapa yang kehilangan keduanya, maka amalnya tertolak dan masuk dalam katagori firman-Nya

Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.

Sedangkan orang yang menghimpun dua kriteria tersebut masuk dealam katagori firmaan-Nya :


Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan (QS an-Nisa :125 )

Dan sabda nabi Saw " barang siapa berhijrah karena dunia yang akan diraihnya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang diniatkan itu" seperti dalam asbabul wurud hadits ini dimana ada seorang laki-laki yang berhijrah karena supaya dia bisa menikah dengan seorang wanita yang bernama Ummu Qais, walupun secara zhahirnya dia keluar untuk berhijrah tetapi ia menyembunyikan sesuatu yang menyelisihi zhahirnya yaitu dia berhijrah bukan semata-mata berhijrah yang sebenarnya karena Allah dan Rasulnya. Tapi karena seorang wanita yang bernama Ummu Qais sehingga ia dijuluki dengan muhajir Ummu Qais. Demikian pula ketika beliau ditanya tentang seseorang karena keberanian semangat yang bergelora, atau seperti posisinya dilihat dibarisan perang manakah yang termasuk fisabilillah? Beliau menjawab " barang siapa yang berperang agar kalimah Allahlah yang lebih tinggi, maka ia dijalan Allah"
Perbuatan itu berbeda-beda keutamaannya dan pahalanya menjadi dasar tergantung keimanan serta keikhlasan yang terdapat dalam hati pelakunya. Sehingga orang yang memiliki niat yang benar dan dibarengi dengan amal yang disanggupinya, maka orang yang berniat tersebut dinilai sebagai orang yang mengamalkan. Sebagaimana firman Allah :



Barang siapa berhijrah dijalan Allah, niscaya mereka mendapati dimuika bumi ini tempat hijrah yang luas dan rijki yang banyak. Barang siapa yang keluar dari rumah nya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju). Maka sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah ( QS an-Nisa 100)

Dalam as-sahih disebutkan secara Marfu
اذ مرض العبد وسافر كتب له ما كان يعمل صحيحا مقيما ان المدينه اقواما عاسرتم مسيوا ولا قطعتم واديا الا كانو معكم – اي قلوبهم وتوجهم حسبهم العذر
Jika seorang hamba sakit atau berpergian maka dicatat untuknya sebagaimana ia melakukannya semasa sehat dan bermukim. Sesungguhnya di madinah ada sejumlah orang yang tidaklah kalian berjalan dan menyebrangi lembah, melainkan mereka bersama kalian (yakni hati dan pahala merka), hanya saja mereka tertahan oleh udzur.

Jika seorang hamba berniat melakukan kebajikan kemudian ia tidak mampu melakukannya maka niatnya itu dicatat sebagai satu kabajikan. Di antara faedah hadits ini ialah bahwa manusia diberi pahala berdosa atau diharamkan itu tergantung niatnya. Termasuk juga faedah hadits bahwa amal itu tergantung di ganakan sebagai sarana apa. Adakalanya sesuatu yang pada asalnya mubah bisa jadi ketaatan. Jika seorang meniatkannya sebagai kebajikan.
Hubungan hadits ini dengan teori pendidikan
Seorang pendidik seyogiayanya membuat perumpamaan yang dapat memperjelas suatu hukum. Atau dalam menyampaikan berbagai disipilin ilmu agar lebih dipahami oleh peserta didik yaitu salah satu methode dari sekian banyak methode-methode dalam pendidikan.
Selain itu bidang pendidikan sebagai seorang pengajar tenaga administrasi atau sebagai peserta didik kalau mereka bekerja semata-mata mengharapkan ridho Allah, maka amal tersebut adalah ikhlas.
Para ahli pendidikan seperti Atiyyah al-Abrasi juga mementingkan sikap ikhlas dalam proses pendidikan, bahkan ia memasukan sikap ikhlas sebagai salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dalam melaksanakan tugasnya merupakan cara untuk membuat muridnya berhasil. Di sini Atiyyah hanya menekankan perwujudan ikhlas hanya kepada pihak pendidik padahal mungkin semua unsur yang terkait dalam pendidikan harus mempunyai sikap ikhlas.

Tidak ada komentar: